Jaksa Agung Tegaskan Pengawasan dan Integritas: Aceh Jadi Cermin Penegakan Nurani

Aceh Connect | Jakarta — Jaksa Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. ST Burhanuddin, S.H., M.M., pada Kamis (23/10/2025) melantik 17 Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan 20 pejabat eselon II di lingkungan Kejaksaan Agung. Pelantikan yang digelar di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta, ini menjadi bagian dari upaya penyegaran dan penguatan kinerja lembaga penegak hukum di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh yang kini tengah menjadi sorotan dalam penguatan fungsi pengawasan internal.

Acara pelantikan dihadiri sejumlah tokoh penting, di antaranya Ketua Komisi Yudisial Prof. Amzulian Rifai, Ketua Komisi Kejaksaan Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, Plt. Wakil Jaksa Agung Prof. Dr. Asep N. Mulyana, serta para Jaksa Agung Muda dan pejabat tinggi Kejaksaan RI. Kehadiran mereka menjadi simbol konsolidasi lintas lembaga dalam menjaga marwah penegakan hukum yang bersih.

Dalam amanatnya, Jaksa Agung menegaskan bahwa pelantikan tersebut bukan sekadar seremoni jabatan, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan profesional bagi setiap pejabat yang dilantik. “Pergantian pejabat merupakan hal yang wajar dalam rangka penyesuaian dan peningkatan kinerja institusi, serta bagian dari dinamika untuk mewujudkan visi dan misi Kejaksaan,” ujar Burhanuddin.

Ia meminta seluruh Kajati untuk segera mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi di wilayah masing-masing, dengan ukuran kinerja yang jelas baik dari sisi jumlah maupun kualitas penyidikan. Jaksa Agung bahkan mengingatkan akan mengevaluasi satuan kerja Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang minim produk penanganan perkara korupsi.

“Para Kajati harus mampu menegakkan keadilan dengan nurani dan keberanian. Kejaksaan harus hadir sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, melalui penindakan yang tegas, pencegahan berkelanjutan, serta perbaikan tata kelola,” tegasnya.

Di luar momentum pelantikan itu, pesan Jaksa Agung terasa sejalan dengan arah pembinaan yang baru-baru ini juga disuarakan Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM-Was) Dr. Rudi Margono saat melakukan kunjungan kerja ke Aceh. Dalam inspeksi ke Kejati Aceh tersebut, ia menegaskan bahwa pengawasan bukanlah rutinitas administrasi, melainkan jantung dari reformasi institusi.

“Pengawasan harus dipahami sebagai penjamin mutu, katalis perubahan, konsultan manajemen risiko, dan akselerator reformasi birokrasi,” ujar Rudi kala itu di Banda Aceh.

Pesan JAM-Was tersebut kini terasa relevan dengan arahan Jaksa Agung yang menuntut setiap Kajati untuk berani melakukan koreksi internal dan menjaga integritas di daerah. Bagi Aceh, hal ini menjadi cermin sekaligus pengingat agar fungsi pengawasan tidak sekadar slogan, melainkan dijalankan sebagai upaya membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Meski Aceh belum termasuk dalam daftar rotasi kali ini, langkah penyegaran di pusat tetap menjadi bahan refleksi bagi korps Adhyaksa di Tanah Rencong. Sejumlah pengamat hukum di Banda Aceh menilai rotasi pejabat tinggi kejaksaan di Jakarta berpotensi memperkuat koordinasi vertikal dan mempertegas arah pembinaan ke daerah. “Kebijakan di pusat akan berimbas ke bawah. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen menjalankan pengawasan yang benar-benar menyentuh substansi keadilan,” ujar seorang dosen hukum dari Universitas Syiah Kuala.

Jaksa Agung dalam amanatnya juga mengingatkan agar sumpah jabatan yang telah diucapkan para pejabat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Ia menegaskan kembali bahwa integritas dan moralitas adalah dasar dari kepercayaan publik.

“Jabatan harus dimaknai sebagai amanah untuk bekerja dengan penuh integritas, tanggung jawab, dan dedikasi demi kemajuan institusi,” tutup Burhanuddin.

Pelantikan ini sekaligus menegaskan bahwa arah pembenahan Kejaksaan tidak hanya berhenti di ruang seremonial Jakarta, tetapi harus berdenyut di setiap wilayah hukum, termasuk Aceh, yang kini dituntut menjaga disiplin, transparansi, dan nurani hukum dalam setiap langkah penegakan keadilan.

Bagi masyarakat Aceh, pesan itu terasa menyentuh akar budaya hukum sendiri: “adat ngon hukum lagee zat ngon sifeut.” Sebuah perumpamaan lama yang menegaskan bahwa keadilan sejati tidak mungkin berdiri tanpa keseimbangan antara norma dan nurani. Di titik itulah, penegakan hukum bukan lagi sekadar tugas, melainkan bagian dari jati diri yang harus terus dijaga di Tanah Rencong.

Dalam pandangan masyarakat Aceh, “adat ngon hukum lagee zat ngon sifeut” bukan sekadar pepatah, melainkan pedoman hidup. Maka, setiap langkah pengawasan dan penegakan hukum seharusnya juga memantulkan nurani keacehan yang menjunjung kejujuran dan keberanian moral.

Pelantikan Kajati baru menjadi ujian, apakah nilai itu masih hidup di tubuh kejaksaan. [Kr].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *