ACEH CONNECT | BANDA ACEH – Ikatan Motor Indonesia (IMI) Aceh kembali menuai sorotan tajam setelah beredarnya surat amandemen/adendum yang diterbitkan pada Juli 2025, bertepatan dengan Seri I Kejuaraan Daerah IMI Aceh di Aceh Barat. Surat yang ditandatangani langsung oleh Ketua IMI Aceh itu baru terungkap belakangan, bahkan disebut tidak transparan karena tidak dibagikan ke seluruh klub resmi di bawah naungan IMI Aceh.
Amandemen tersebut mengandung perubahan yang bertolak belakang dengan Peraturan Nasional Balap Motor Pasal 7 tentang penyelenggaraan kelas dan nomor lomba. Dalam aturan nasional ditegaskan:
1. Setiap pembalap, apapun kategorinya, hanya diizinkan mengikuti maksimal tiga kelas, termasuk supporting race.
2. Untuk kelas utama, setiap pembalap hanya boleh turun di dua kelas berbeda sesuai rentang usia yang berlaku.
Namun, amandemen versi IMI Aceh justru membolehkan pembalap mengikuti hingga tujuh kelas dalam satu event. Kebijakan ini dinilai sebagai bentuk pengabaian serius terhadap faktor keselamatan pembalap, karena kelelahan ekstrem dapat memicu kecelakaan fatal di lintasan.
Mantan Ketua Harian IMI Aceh, Eko Hariono, yang mundur hanya beberapa bulan setelah dilantik karena menilai gaya kepemimpinan terlalu mikro-manajemen dan tidak sejalan dengan semangat perbaikan organisasi, ikut menanggapi persoalan ini.
“Mengamandemen peraturan sah-sah saja selama sesuai hirarki organisasi. Tapi jika daerah mengamandemen peraturan nasional, itu adalah kekeliruan besar. Peraturan nasional adalah kewenangan PP IMI. Lebih jauh, mengutak-atik Pasal 7 sama saja mempertaruhkan nyawa pembalap. Kekonyolan seperti ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Eko.
Ia juga menyoroti tata kelola IMI Aceh yang disebut sudah jauh dari prinsip transparansi. Klub-klub resmi kerap tidak mendapat akses informasi penting, sehingga hanya diposisikan sebagai pelaksana kewajiban tanpa memperoleh hak edukasi regulasi yang benar.
“IMI Aceh bisa hancur tanpa disadari oleh klub sendiri. Klub-klub resmi semestinya diberi pemahaman soal AD/ART dan regulasi nasional, bukan dibiarkan mengikuti aturan yang salah hanya karena keterbatasan pemahaman organisasi. Kalau situasi ini terus berlanjut, kerugian terbesar akan menimpa pembalap dan klub,” ujarnya.
Eko mendesak keberanian Ketua Umum IMI Pusat yang baru, Moreno Suprapto, untuk menjadikan kasus Aceh sebagai momentum pembenahan tata kelola IMI secara menyeluruh.
“Mulailah dari ujung barat. Jangan biarkan organisasi ini terus semberaut. Keselamatan pembalap dan marwah organisasi jauh lebih penting daripada kepentingan segelintir pihak,” pungkasnya. [Mustaqim].











