Konflik Lahan Tambak di Aceh Timur, Keluarga Calon Wakil Wali Kota Langsa 02 Terlibat

Koperasi Produsen Serba Usaha Flora Potensi baru saja melakukan perubahan anggaran dasar (Nomor AHU-0002169.AH.01.39.TAHUN 2024), yang memberikan mereka hak pengelolaan atas ribuan hektar lahan. 

AcehConnect.com — Ketegangan melanda Kecamatan Sungai Raya dan Peureulak Timur, Aceh Timur, pasca pengambilalihan lahan tambak oleh Koperasi Produsen Serba Usaha Flora Potensi.

Lahan seluas 6.200 hektar yang selama ini dikelola oleh ratusan warga kini diklaim sepihak oleh koperasi yang dipimpin oleh Monita Chu, ibu dari Calon Wakil Wali Kota Langsa nomor urut 02.

Dalam beberapa hari terakhir, warga setempat terus mengadukan kasus ini ke berbagai pihak, namun hingga kini belum ada tindakan konkret dari pemerintah maupun koperasi terkait.

Koperasi tersebut menolak memberikan tanggapan kepada media dan sulit ditemui meski berbagai upaya telah dilakukan.

Kisah Marzuki: Pemilik Tambak yang Kehilangan Harapan

Salah satu pemilik tambak yang paling vokal adalah Marzuki, yang akrab disapa “Raja Rimba”.

Dalam wawancara eksklusif, Marzuki mengungkapkan bahwa lahan tambaknya yang sudah ia kelola selama lebih dari 20 tahun kini terancam hilang.

“Saya punya surat sporadik dan Akta Jual Beli (AJB) yang sah dari Camat, tapi tiba-tiba muncul koperasi yang mengklaim lahan ini dengan dokumen dari pusat. Mereka bilang tanah ini sudah beralih kepemilikan tanpa kami diberi tahu,” ujar Marzuki dengan nada geram.

Marzuki menambahkan bahwa selama bertahun-tahun ia dan warga lainnya selalu memenuhi kewajiban pembayaran pajak serta izin pengelolaan tambak.

Namun, koperasi tiba-tiba mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka setelah mengantongi perubahan anggaran dasar yang baru disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Pengurusan Lahan yang Rumit: Warga Merasa Diabaikan

Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa warga Sungai Raya dan Peureulak Timur selama ini hanya mengandalkan surat sporadik dan AJB sebagai dasar kepemilikan lahan.

Berdasarkan peraturan daerah, surat-surat ini sah secara administratif untuk lahan tambak.

Namun, seiring perubahan kebijakan agraria di tingkat pusat, legalitas surat sporadik mulai dipertanyakan, terutama setelah koperasi melakukan perubahan anggaran dasar yang memberikan hak pengelolaan baru kepada mereka.

“Proses pengurusan sertifikat sering kali dipersulit, dan biayanya tidak murah. Kami tidak punya akses seperti koperasi besar yang bisa langsung mendapatkan legalitas dari pusat,” jelas Marzuki.

Kondisi ini diperburuk oleh minimnya pendampingan dari pemerintah daerah, sehingga banyak warga merasa dipermainkan oleh aturan yang berubah-ubah.

Bermula dari Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

Koperasi Produsen Serba Usaha Flora Potensi baru saja melakukan perubahan anggaran dasar (Nomor AHU-0002169.AH.01.39.TAHUN 2024), yang memberikan mereka hak pengelolaan atas ribuan hektar lahan.

Foto: Ist

Warga yang selama ini mengelola lahan tersebut mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ini.

Bahkan, perubahan status lahan ini berlangsung sangat cepat, hanya beberapa minggu setelah perubahan anggaran dasar disetujui oleh pihak berwenang.

“Tanpa pemberitahuan atau musyawarah, mereka datang dengan surat baru dan langsung mengklaim tanah kami. Padahal tanah ini sudah kami kelola turun-temurun,” tutur seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Kondisi Lapangan: Warga Kehilangan Mata Pencaharian

Situasi di lapangan semakin memprihatinkan. Puluhan warga mengeluhkan bahwa mereka tidak lagi bisa mengakses tambak yang menjadi sumber utama penghidupan mereka.

Para petani tambak yang sudah menanam benih ikan dan udang kini terancam kehilangan panen, karena akses menuju lahan ditutup oleh pihak koperasi.

“Kami sudah habis-habisan menanam di tambak. Kalau ini diambil, kami mau makan apa?” keluh Jafar, salah satu petambak di kawasan Peureulak Timur.

Ia juga menambahkan bahwa anggota koperasi terlihat berjaga di sekitar lahan, menghalangi warga untuk masuk.

Delik Hukum

Dari sisi hukum, M Nur, SHI, MH, seorang pengacara sekaligus Pengurus LSM Himpunan Aktivis Hukum Aceh, menilai bahwa surat sporadik dan AJB yang dimiliki warga seharusnya masih memiliki kekuatan hukum, selama tidak ada sengketa sebelumnya.

“Jika warga memiliki dokumen sporadik yang diterbitkan oleh camat dan AJB yang sah, maka tindakan koperasi dapat dikategorikan sebagai penyerobotan tanah sesuai dengan Pasal 385 KUHP. Ini berpotensi menjadi kasus pidana jika terbukti ada unsur pemaksaan atau penipuan,” jelas M Nur.

Ia juga menyoroti bahwa menurut Pasal 2 UU No. 51/Prp/1960, dilarang menggunakan tanah tanpa izin dari yang berhak atau yang memiliki kuasa yang sah. Hal ini menambah dasar hukum bagi warga untuk memperjuangkan hak atas lahan tambak mereka.

Harapan Warga: Intervensi Pemerintah dan Penegakan Keadilan

Hingga saat ini, warga masih berharap pemerintah daerah segera turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini.

Mereka menuntut agar hak-hak mereka sebagai pemilik lahan tradisional dihormati.

“Kami hanya ingin keadilan. Kalau memang tanah ini milik kami, tolong kembalikan. Kami siap berjuang sampai kapan pun,” tegas Marzuki, yang kini menjadi simbol perlawanan warga terhadap dominasi koperasi.

Kasus ini semakin rumit dan menimbulkan pertanyaan besar terkait integritas sistem agraria di Aceh Timur.

Apakah ini hanya masalah sengketa lahan biasa, atau ada agenda politik tersembunyi di baliknya?

Hanya waktu yang akan menjawab, namun bagi warga, waktu adalah kemewahan yang tidak mereka miliki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *