Pagoda Maha Myat Muni di Mandalay ambruk akibat gempa yang melanda Myanmar, (28/3).
Aceh Connect | Internasional. —Myanmar semakin tenggelam dalam persoalan, konflik internal yang tidak berkesudahan tentu menambah resiko intervensi luar. Konflik Myanmar dapat dikatagorikan sebagai yang terpanjang di dunia, hingga sekarang sudah berumur 77 tahun lebih 1 hari sejak 2 April 1948. Aceh Connect merangkumnya dari berbagai analisa dan sudut pandang, hingga Kamis 3 April 2025.
Konflik internal di Myanmar mengacu pada serangkaian pemberontakan yang berlangsung di Myanmar sejak tahun 1948, ketika Myanmar (saat itu dikenal sebagai Burma) meraih kemerdekaan dari Britania Raya.
Konflik ini sebagian besar didasari oleh etnis, dengan beberapa kelompok etnis bersenjata melawan angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, demi memperjuangkan hak demokrasi mereka.
Meskipun terdapat banyak gencatan senjata dan pembentukan zona otonomi pada tahun 2008, banyak kelompok bersenjata terus menyerukan kemerdekaan, peningkatan otonomi, atau federalisasi negara.
Konflik ini digambarkan sebagai “Perang Saudara Terpanjang di Dunia” karena telah berlangsung hampir 8 dekade.
Sejak 02 April 1948 – sekarang, konflik Myanmar atau dulu disebut Burma terus berlangsung. Konflik etnis besar di negara bagian Kachin, Kayah, Kayin, Rakhine, dan Shan. Gencatan senjata ditandatangani oleh berbagai kelompok sejak tahun 1989. Zona otonom diciptakan untuk enam etnis minoritas berdasarkan Konstitusi Myanmar tahun 2008.
Junta militer mengakui kekuasaan de jure atas Myanmar pada tahun 2011, dan memulai serangkaian reformasi politik
Militer menegaskan kembali kendali de jure atas negara tersebut setelah kudeta tahun 2021, yang memicu aksi protes anti-kudeta.
Tindakan kekerasan terhadap protes anti-kudeta di kota-kota besar meningkat, konflik tersebut menjadi perang saudara di seantero negeri pada akhir tahun 2021. Kemudian gagasan agar diadakan pemilu, justru makin menambah dendam kekuasaan.
Sejumlah analis memperingatkan bahwa pemilu ini justru dapat memicu lebih banyak kekerasan. Negara-negara ASEAN juga mendesak junta Myanmar untuk lebih memprioritaskan perdamaian daripada pemilu.
Menurut laporan PBB, konflik yang berlangsung telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang mengungsi. Konflik tersebut juga menyebabkan krisis pangan semakin meluas dan lebih dari sepertiga populasi Myanmar membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Meskipun junta mengklaim pemilu ini akan berjalan sesuai sistem multi-partai, skeptisisme dari masyarakat internasional tetap tinggi.
Banyak pihak menilai pemilu ini sebagai upaya junta untuk melegitimasi kekuasaan mereka di tengah tekanan dari dalam dan luar negeri. Dengan kondisi politik yang masih bergejolak, masa depan Myanmar tetap dipenuhi ketidakpastian.
Sedang dalam situasi sulit biasanya memang dilengkapi dengan bencana alam, memberi pertanda agar semua pihak menahan diri dan melihat penderitaan rakyatnya. Myanmar dilanda gempa dahsyat, ribuan orang meninggal dan korban hilang serta luka-luka.
Sejumlah anggota Palang Merah China berupaya mencari korban gempa di antara reruntuhan bangunan di Mandalay, Myanmar, pada 31 Maret 2025.
Militer Myanmar menembaki konvoi Palang Merah China yang membawa bantuan ke daerah yang dilanda gempa, pada Selasa (01/04) malam.
Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA) mengatakan pasukan militer Myanmar menembaki konvoi sembilan kendaraan menggunakan senapan mesin berat saat melewati Kotapraja Naung Cho di Negara Bagian Shan dalam perjalanan menuju Kota Mandalay.
Lokasi serangan saat ini berada di bawah kendali TNLA, kelompok bersenjata etnis yang beroperasi di wilayah tersebut.
TNLA mengatakan konvoi telah memberi tahu junta militer tentang rute dan rencana pengiriman bantuan tersebut.
Junta militer Myanmar membenarkan serangan tersebut. Insiden itu terjadi sekitar pukul 21:30 malam, menurut pernyataan juru bicara junta, Mayor Jenderal Zaw Min Tun.
Menurut laporan media lokal, militer telah melanjutkan serangannya di berbagai wilayah dalam beberapa hari terakhir, termasuk menembaki desa-desa yang dilanda gempa.
Kelompok pemberontak pro-demokrasi yang berjuang untuk menyingkirkan militer dari kekuasaan telah melaporkan serangan udara di Kota Chang-U di wilayah Sagaing tengah, pusat gempa. Ada juga laporan serangan udara di wilayah dekat perbatasan Thailand.
Sejumlah lembaga bantuan mengatakan makanan, air, obat-obatan, dan tempat tinggal sangat terbatas di Myanmar. Mereka mendesak masyarakat internasional untuk meningkatkan upaya bantuan sebelum musim hujan tiba bulan depan.
PBB menuduh junta menjadikan pasokan bantuan sebagai alat perang.
Junta militer, menurut PBB, memblokir bantuan kemanusiaan untuk korban gempa di pos-pos pemeriksaan di wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak—yang dapat mencakup hingga tiga perempat wilayah Myanmar.
Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mendesak junta untuk menghentikan serangan.
“Masalahnya masih ada operasi militer yang sedang berlangsung saat ini… Serangan oleh junta militer,” katanya kepada BBC.
Sekitar 2 bulan yang lalu tercatat tanggal 1 Februari 2025, Myanmar terjerumus krisis politik dan konflik berdarah tak berkesudahan akibat kudeta militer. Lebih dari 770 warga sipil tewas di tangan militer saat gelombang unjuk rasa melanda berbagai daerah. Banyak pula yang takut dan khawatir lalu mengungsi ke daerah-daerah perbatasan Myanmar dengan Thailand dan India.

Muslim Rohigya rayakan Idul Fitri 1446 H, di Camp Pengungsian.
Myanmar terus bergejolak tanpa ada tanda-tanda penyelesaian, Rohigya punya cerita sendiri yang merupakan bagian konflik Myanmar. Mereka merayakan Idul Fitri 1446 H, di camp pengungsian. Mereka rindu kembali ke negara asal tapi situasi Myanmar tak kunjung pulih, mereka kehingan status kewarganegaraan dan terjebak dalam pengungsian hingga April 2025. [**].











