Ketua DPRK Aceh Tamiang, Fadlon,SH.
Aceh Connect | Aceh Tamiang — Di sebuah kampung di pedalaman Kecamatan Tamiang Hulu, deretan sawit berbaris rapi di atas lahan yang disebut-sebut sebagai kebun plasma. Tapi di balik rimbunnya daun dan jalur-jalur panen yang teratur, warga setempat justru merasa asing di tanah yang seharusnya menjadi bagian dari hak mereka.
Di Kampung Rongoh, masyarakat mendapati bahwa lahan seluas hampir 197 hektare yang selama ini mereka kenal sebagai program plasma, ternyata bukan milik rakyat, melainkan kebun milik pengusaha.
“Benar itu adanya, bang. Program plasma itu memang untuk kebunnya pengusaha, seluas 197 hektare, bang,” ujar Ketua MDSK Kampung Rongoh saat ditemui wartawan pekan ini.
Warga semakin bingung ketika mengetahui bahwa kebun itu diklaim sebagai bagian dari program kemitraan perusahaan dengan masyarakat. “Benar ini kebun bos saya, bang, dan saat ini kebun ini menjalani hubungan kerja sama dengan suatu perusahaan dalam program plasma. Luas areal kalau saya tidak salah sekitar 197 hektare, kurang lebih,” ungkap Erwin, manajer lapangan kebun tersebut.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana konsep kemitraan yang diatur dalam regulasi pemerintah seakan hanya berhenti di atas kertas. Kepala Kampung Rongoh sendiri mengaku tidak mengetahui secara pasti asal-usul program itu.
“Saya tidak paham, bang, karena program itu masuk ke kampung ini sebelum saya menjadi pimpinan di sini,” katanya singkat.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021, perusahaan perkebunan yang memiliki HGU wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas minimal 20 persen dari total luas lahan yang diusahakan, bahkan Qanun Aceh No.6 tahun 2012 meminta alokasi 30 persen.
Ketentuan itu diperkuat oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengatur kewajiban kemitraan sebagai bagian dari fungsi sosial tanah dan tanggung jawab korporasi.
Namun realitasnya, sebagaimana juga disoroti oleh penelitian Muhammad Shevy (2024), banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit memanfaatkan fleksibilitas aturan pasca UU Cipta Kerja untuk menjalankan kemitraan dalam bentuk lain, sehingga kewajiban plasma sering kali tidak benar-benar diwujudkan dalam bentuk kebun milik masyarakat.
Sekretaris Transparency Aceh, Saiful Lubis, menilai fenomena ini sebagai sinyal serius bagi pemerintah untuk tidak lagi diam.
“Sudah saatnya pemerintah menginisiasi audit kepatuhan hukum secara menyeluruh,” tegasnya.
Menurutnya, audit pelaksanaan kewajiban pembangunan kebun masyarakat oleh perusahaan pemilik HGU merupakan langkah konkret yang perlu segera dilakukan. Dalam konteks ini, Saiful melihat audit tersebut sebagai respons nyata terhadap tuntutan masyarakat desa yang selama ini merasa tak memperoleh bagian yang adil dari keberadaan perkebunan besar di sekitar mereka.
“Plasma itu seharusnya membangun ekonomi rakyat, bukan menjadi kamuflase kebun inti dengan nama baru,” tambahnya.
Masyarakat berharap lembaga legislatif tidak tinggal diam.
Ketua DPRK Aceh Tamiang, Fadlon,SH., saat dikonfirmasi menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
“Berdasarkan informasi yang saya terima, saya akan segera menindaklanjuti permintaan masyarakat. Saya juga akan berkoordinasi dengan Ketua Komisi II dan seluruh anggotanya untuk membentuk pansus dan secepatnya memanggil semua pihak terkait mengenai permasalahan program plasma ini,” ujarnya di ruang kerjanya. (7/11/2025)
Namun di lapangan, rakyat masih menunggu langkah nyata. Mereka sudah mendengar banyak janji, tapi belum melihat hasilnya.
“Kami hanya ingin tahu ke mana hasil kebun itu, dan kenapa tak pernah ada laporan ke masyarakat,” kata seorang warga Rongoh dengan nada pelan.
Kisah di Tamiang Hulu hanyalah satu potret dari banyaknya kabupaten lain di Aceh yang mengalami gejala serupa. Di balik regulasi yang menjanjikan keadilan sosial, terselip praktik “kemitraan semu” yang justru mempertegas jarak antara rakyat dan tanahnya sendiri.
Menurut pakar agraria, dualisme antara aturan perkebunan dan pertanahan membuat perusahaan sering mencari celah legal untuk menunda kewajiban plasma. Di sisi lain, lemahnya pengawasan pemerintah daerah menambah panjang daftar ketimpangan antara rakyat dan korporasi.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, ditegaskan bahwa setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Artinya, setiap penggunaan tanah harus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar. Bila plasma hanya menjadi nama tanpa isi, maka fungsi sosial tanah itu telah hilang.
“Negara tak boleh hanya jadi penonton,” ujar Saiful menutup percakapan.
“Audit menyeluruh adalah pintu awal agar rakyat tahu ke mana haknya, dan siapa yang selama ini mengambilnya.”. (Kr).











