ACEH CONNECT | JAKARTA — Demo meninggalkan kesan negatif tentu akan merugikan bangsa dan negara, karena apapun hasilnya demo itu muncul atas kehendak rakyat biasanya diwakili mahasiswa. Pemerintahan yang sekarang pasti menyadari arti demo yang baru saja berlangsung 28-31 Agustus 2025, meski responnya tidaklah harus sama dengan yang diinginkan.
Mengutip dari berbagai sumber, banyak pengamat menilai ada banyak peristiwa sejak peringatan 17 Agustus 2025. Dari pengibaran bendera one piece, hingga lahirnya 17+8 tuntutan. Apa itu tentu pemerintah sudah tahu, dilaksanakan mungkin belum tentu. Namun Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, angkat bicara.
Menurutnya, “Demo ini bukan sekadar ribut di jalan. Ada aspirasi yang harus didengar.”. Artinya Wakil Panglima mengingatkan kita semua, ada hal yang harus diperbaiki negeri ini. Jangan gegabah menilai yang negatif saja, isi demo juga harus benar dipertimbangkan. Jangan asal gunakan kekuatan hanya untuk keamanan dalam negeri dan untuk bangsa sendiri, ada banyak aspirasi yang harus didengar.
Seperti yang dilansir RUBLIK DEPOK – Kerusuhan demo yang terjadi sejak akhir Agustus 2025 makin memanas setelah beredar video seorang pria berpakaian sipil ditangkap anggota Brimob di Pejompongan, Jakarta. Dalam rekaman itu, terlihat kartu identitas BAIS TNI yang diduga milik pria tersebut. Publik langsung ramai berspekulasi: apakah benar intel ikut menyusup dan menjadi provokator?
Mabes TNI buru-buru membantah isu itu. Mereka menyebut narasi soal intel sebagai provokator adalah hoaks yang sengaja digoreng untuk memecah belah TNI dan Polri. Namun, keburu viral di media sosial, identitas intel yang seharusnya rahasia jadi tersebar luas.
Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo Budi Revita, angkat bicara. Di Gedung DPR pada 1 September, ia menyesalkan kebocoran itu. “Kerahasiaan identitas intelijen itu mutlak. Kalau sampai terbuka, yang rugi bukan cuma orangnya, tapi juga operasi yang sedang dijalankan,” ujarnya.
Di lapangan, tugas intelijen memang jarang terlihat publik. Mereka biasanya menyamar, mengumpulkan informasi, dan membaca dinamika massa supaya pimpinan bisa mengambil keputusan. Dalam situasi demo yang chaos—dengan bentrokan, pembakaran, bahkan penjarahan—peran intel penting untuk memetakan potensi ancaman.
Tapi, penyamaran itu juga penuh risiko. Di tengah sweeping Brimob atau aparat lain, intel bisa saja dianggap demonstran biasa, atau bahkan provokator. Penangkapan di Pejompongan ini menunjukkan bagaimana miskomunikasi antar-aparat bisa terjadi.
Menurut Tandyo, kalaupun benar ada anggota BAIS tertangkap, seharusnya identitasnya tidak diumbar ke publik. Sebab, sekali identitas bocor, keselamatan pribadi dan integritas operasi bisa terancam. Apalagi di era media sosial, satu foto bisa langsung jadi amunisi opini.
Gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus tak lagi sekadar soal kekecewaan pada tunjangan DPR. Tuntutan kini melebar: reformasi kepolisian, pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor, hingga perubahan sistemik. Hingga awal September, delapan orang sudah meninggal, ratusan terluka, dan sejumlah gedung DPRD dibakar massa.
Di tengah situasi ini, sinergi TNI dan Polri jadi sorotan. Presiden Prabowo sudah menegaskan TNI harus mendukung Polri dalam pengamanan demo, tapi kenyataan di lapangan tak selalu mulus. Sweeping Brimob yang masif kerap menimbulkan gesekan, termasuk dengan personel TNI yang punya misi intelijen.
Tandyo mengingatkan, koordinasi harus diperkuat. Posko bersama atau jalur komunikasi langsung antar-komandan di lapangan bisa jadi solusi agar tak ada lagi insiden salah tangkap. Publik pun menunggu, bukan hanya penertiban massa, tapi juga langkah nyata pemerintah merespons tuntutan rakyat.
“Demo ini bukan sekadar ribut di jalan. Ada aspirasi yang harus didengar,” kata Tandyo. “Kalau masyarakat temukan hal mencurigakan, sampaikan lewat jalur resmi, jangan malah diviralkan.” Pungkas Tandyo.
Pernyataan Tandyo penuh arti dan sangat serius, berbagai tuntutan haruslah menjadi acuan pemerintah ke depan. Tindakan kriminal sedang diusut kepolisian, yang lain terus bersungguh-sungguh lanjutkan perbaikan termasuk partai politik yang punya andil kecewakan rakyat.
Dikutip dari akun Instagram LBH Jakarta, tuntutan terumuskan dalam ’17+8 tuntutan rakyat: transparansi, reformasi, dan empati’. Koalisi meminta 17 tuntutan segera dipenuhi dalam waktu sepekan hingga 5 September. Sedangkan, 8 tuntutan sisanya, harus diselesaikan dalam setahun setelahnya, dan berikut daftarnya:
1. Tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tak ada kriminalisasi demonstran.
2. Bentuk tim investigasi kematian Affan Kurniawan, dan semua demonstran yang menjadi korban aksi 25-31 Agustus.
3. Bekukan kenaikan tunjangan, gaji, dan fasilitas baru anggota DPR.
4. Publikasikan transparansi anggaran
5. Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota bermasalah.
6. Pecat atau sanksi kader partai politik yang tidak etis dan memicu kemarahan publik.
7. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat.
8. Libatkan kader partai dalam ruang-ruang dialog bersama publik.
9. Bebaskan seluruh demonstran yang ditahan.
10. Hentikan tindakan represif dan kekerasan berlebihan aparat dalam mengawal demo.
11. Tangkap dan proses hukum anggota atau aparat yang memerintahkan atau melakukan tindakan represif.
12. TNI segera kembali ke barak.
13. TNI tak boleh ambil alih fungsi Polri, tegakkan disiplin internal.
14. Tak memasuki ruang sipil selama krisis demokrasi.
15. Pastikan upah layak untuk buruh.
16. Pemerintah segera ambil langkah darurat cegah PHK massal.
17. Buka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah murah dan outsourcing.
8 tuntutan tambahan jangka panjang hingga 31 Agustus 2026:
1. Bersihkan dan reformasi DPR besar-besaran; lakukan audit dan tinggikan syarat anggota DPR.
2. Reformasi partai politik; parpol harus mempublikasikan laporan keuangan, memastikan fungsi pengawasan berjalan sebagaimana mestinya.
3. Reformasi sektor perpajakan dengan adil.
4. Sahkan RUU Perampasan Aset
5. Reformasi kepolisian agar profesional dan humanis
6. TNI kembali ke barak
7. Perkuat Komnas HAM dan lembaga pengawas independen lain
8. Tinjau ulang kebijakan sektor ekonomi dan ketenagakerjaan; mulai dari PSN, evaluasi UU Ciptaker, dan tata kelola Danantara.
Semua pihak berharap, kebijakan segera dievaluasi minimal sesuai tuntutan. Dari catatan sejarah reformasi, rakyat jelata semakin sulit. Hampir 30 tahun berjalan mencari nafkah halal susah, reformasi dipertanyakan “untuk siapa”. Berjoget di depan rakyat, seakan menjadi penyemangat bangsa. [**].











