ACEH CONNECT | LHOKSEUMAWE —Pemotongan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) mulai tahun 2026 memunculkan gelombang pergeseran budaya birokrasi di sejumlah daerah. Langkah ini bukan sekadar pengurangan anggaran, melainkan bagian dari strategi pemerintah pusat yang dipimpin Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menegaskan makna efisiensi fiskal secara nyata.
Efisiensi, menurut Purbaya, bukan sekadar pemotongan nominal, melainkan bagaimana anggaran dibelanjakan dengan tepat, cepat, dan bebas dari korupsi. Sinyal ini seperti alarm bagi pemerintah daerah: setiap keterlambatan atau penyimpangan dalam pengelolaan anggaran bisa berdampak langsung pada insentif pegawai, sekaligus menjadi cermin sejauh mana daerah menjalankan reformasi fiskal.
Respons publik pun beragam. Sebagian kalangan menyambut langkah ini sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pusat pada kualitas layanan publik dan penggunaan anggaran yang cerdas. Di sisi lain, pegawai daerah yang selama ini mengandalkan TKD sebagai sumber insentif tambahan mulai menyesuaikan ekspektasi, memunculkan tekanan psikologis sekaligus dorongan untuk meningkatkan produktivitas.
Pandangan Pengamat Lokal Mustaqim Nurdin, S.Ag:
“Pemotongan TKD ini sebetulnya bukan semata tindakan fiskal, tetapi ujian serius bagi pemerintah daerah. Ini menuntut mereka memahami bahwa efisiensi anggaran adalah tanggung jawab nyata, bukan sekadar jargon birokrasi. Jika dikelola dengan benar, ini bisa menjadi momentum reformasi yang berpihak pada kemakmuran rakyat; jika disikapi asal-asalan, konsekuensinya bisa langsung terasa pada motivasi pegawai dan efektivitas layanan publik.”
Kebijakan ini juga menegaskan konsistensi arah Purbaya selama menjabat: reformasi fiskal yang mengedepankan akuntabilitas, efisiensi, dan keberpihakan pada ekonomi masyarakat. Dari inspeksi mendadak ke berbagai lembaga hingga pengawasan proyek besar, langkah pemerintah menunjukkan pola strategis untuk memperbaiki manajemen anggaran daerah, sekaligus memberi sinyal tegas bahwa penyalahgunaan tidak akan ditoleransi.
Di tengah dinamika ini, masyarakat diharapkan melihat pemotongan TKD bukan sebagai kehilangan hak, tetapi sebagai bagian dari transformasi besar dalam cara pemerintah daerah menggunakan anggaran demi kepentingan publik yang lebih luas. [ZH].











