Delfino berkata banyak anggota keluarga dan kawan-kawannya yang telah meninggalkan pulau tempat mereka tinggal.
Aceh Connect | Internasional. — Mendengar cerita sebuah negara akan hilang oleh meningkatnya air laut, mendapat perhatian berbagai pihak. Aceh Connect mencoba menggali dan merangkum dari berbagai sumber, Selasa 11 Februari 2025.
Untuk masuk ke Panama, wisatawan harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya:
Memiliki paspor yang berlaku minimal 6 bulan sejak tanggal masuk
Memiliki tiket pesawat pulang-pergi
Memiliki bukti solvabilitas, seperti uang tunai atau kartu kredit
Memiliki vaksinasi lengkap minimal 14 hari sebelum keberangkatan
Memiliki Electronic Health Affidavit
Membayar pajak keberangkatan sebesar US$50 di Bandara Tocumen, Panama City
Memberikan label yang jelas pada obat-obatan yang dibawa
Memberikan keterangan dari apoteker untuk obat-obatan yang memerlukan resep dokter
Wisatawan hanya diperbolehkan tinggal di Panama selama 180 hari.
Panama merupakan negara yang terletak di tenggara Amerika Tengah. Negara ini berbatasan dengan Laut Karibia di utara, Samudra Pasifik di selatan, Kolombia di timur, dan Kosta Rika di barat.
“Jika pulau ini tenggelam, saya akan tenggelam bersamanya,” tutur Delfino Davies, kepada BBC Indonesia.. Raut senyum tak sedikit pun luntur dari wajahnya.
Lalu tiba-tiba hening, kecuali bunyi sapuan sapunya di lantai museum kecil yang dikelolanya untuk mendokumentasikan kehidupan komunitasnya di Panama, masyarakat adat Guna.
“Sebelumnya, Anda bisa mendengar anak-anak berteriak… musik di mana-mana, tetangga yang bertengkar,” ujarnya.
“Tapi kini suara-suara itu sudah hilang”.
Pemerintah Panama bilang mereka menghadapi “risiko yang mungkin segera terjadi” akibat kenaikan permukaan air laut, yang disebut oleh para ilmuwan kemungkinan akan membuat pulau itu tak lagi dapat dihuni pada 2050.
Pada Juni tahun lalu, banyak warga meninggalkan perkampungan yang dibangun dari papan kayu dan atap seng.
Mereka pindah ke deretan rumah yang disediakan untuk mereka di pulau lain.
Relokasi ini dipuji oleh beberapa pihak sebagai model bagi kelompok lain di seluruh dunia yang tempat tinggalnya terancam perubahan iklim.
Kendati begitu, program relokasi itu telah memecah belah masyarakat di pulau kecil tersebut.
“Ayah saya, saudara laki-laki saya, saudara ipar perempuan saya, dan teman-teman saya sudah pergi,” kata Delfino.
“Terkadang anak-anak yang keluarganya masih tinggal menangis, bertanya-tanya ke mana teman-teman mereka pergi,” katanya. [].
Sumber : BBC Indonesia.











