Produk Bermasalah Disahkan Pemerintah, Almamater Biru Masih Membisu
Oleh: Rieza Alqusri *)
Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja (Ciptaker) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Sidang Paripurna ke-19, Masa Persidangan IV Tahun 2022-2023, pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2023 lalu, telah mendapat perhatian dan sorotan yang sangat besar dari mayoritas masyarakat Indonesia. Terutama dari para mahasiswa yang selama ini selalu memposisikan diri sebagai agen perubahan dan pembela hak-hak rakyat.
Namun sangat disayangkan, bahwa tidak semua mahasiswa mau bersuara terhadap pengesahan Undang-undang (UU) yang penuh dengan permasalahan itu. Terutama mereka yang berdomisili jauh dari ibukota negara, seperti misalnya para mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry (UINAR), Banda Aceh.
Kampus yang selama ini dikenal sebagai Almamater Biru yang sangat kritis dan aktif membela kepentingan rakyat, tiba- tiba seperti bungkam terhadap masalah yang krusial tersebut. Hal itu terlihat jelas dari belum ada seorang mahasiswa pun yang bersedia angkat bicara untuk mengkritisi masalah tersebut.
Padahal Perppu Ciptaker merupakan suatu undang-undang yang sangat kontroversial, yang telah menuai berbagai kritik dari banyak kalangan. Sebab pasal-pasal di dalam UU tersebut dianggap sangat merugikan masyarakat pekerja, seperti penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), kemudahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), perlindungan hak-hak pekerja yang semakin minim, dan lain-lain.
Patut disesalkan bahwa terkait pengesahan Perppu yang bermasalah itu masih banyak mahasiswa yang tidak mau menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Padahal, mahasiswa sebagai anak kandung rakyat sudah seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan menyuarakan pendapat-pendapat mereka yang tertindas.
Sebagai warga kampus Jantong Hate Rakyat Aceh, Mahasiswa UINAR sudah seharusnya menunjukkan eksistensi dan peran mereka dalam memberikan kritikan terhadap pengesahan UU Ciptaker itu. Mahasiswa harus mampu berbicara dengan tegas dan jelas tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh UU tersebut terhadap rakyat Indonesia.
Namun, yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Mahasiswa UINAR Banda Aceh sepertinya masih bungkam seribu bahasa. Kelihatannya mereka masih enggan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Ini adalah hal yang sangat patut disayangkan, mengingat salah satu peran penting mahasiswa sebagai kaum intelektual yang berkewajiban memperjuangkan hak-hak rakyat telah diabaikan begitu saja.
Oleh karena itu, kita sangat mengharapkan kebangkitan Mahasiswa dari Almamater Biru untuk segera mengambil sikap dan menunjukkan eksistensinya sebagai agen perubahan yang sejati. Mahasiswa harus senantiasa memperjuangkan hak-hak rakyat dengan menyuarakan kritikan-kritikannya terhadap pengesahan UU Ciptaker tersebut.
Dengan demikian, mahasiswa akan kembali berdiri di garda paling depan dalam melindungi hak-hak rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal itu sangat relevan untuk dilakukan, sebagai salah satu wujud implementasi dari poin tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. (* Penulis adalah Ketua Umum HIMATARA UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)