Jubir DPP Muda Seudang Aceh: Pemerintah Pusat Alergi Dengan Persoalan Bendera dan Lambang Aceh

Sangat disayangkan jika ada pihak yang anti terhadap pengesahan bendera Bulan Bintang

Juru Bicara DPP Muda Seudang Aceh, Muhammad Chalis. S.IP. (Istimewa)

Banda Aceh – DPP Muda Seudang mengajak semua elemen masyarakat untuk mendukung dan mengawal Revisi UUPA.

Hal itu langsung diungkapkan oleh Juru Bicara (Jubir) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang Aceh, Muhammad Chalis. S.IP kepada awak media, Jumat (31/03/2023).

“Sangat meyayangkan jika ada pihak yang anti terhadap revisi UUPA, apalagi ada oknum lembaga anti terhadap wacana pengesahan bendera Bulan Bintang,” sebut Chalis.

Chalis mengatakan bendera Bulan Bintang bukanlah hal yang perlu ditakuti dikalangan masyarakat, nyatanya bendera Bulan Bintang merupakan simbol komitmen utama pemerintah Aceh dalam mengupayakan terlaksanannya MoU Helsinki.

“18 tahun sudah damai tapi pemerintah Pusat masih alergi terhadap bendera Bulan Bintang, DPRA sudah berupaya untuk melahirkan Qanun Tentang Bendera, Lambang dan Himne, namun Pusat mempersulit dan enggan mengesahkan bendera Bulan Bintang berkibar di Aceh,” ungkap Chalis.

“Hari ini kita minta bukan soal simbol dan lambang saja, tetapi sepanjang 30 persen norma isi perjanjian MoU yang tidak sesuai harus direvisi, karena konteks perubahan undang-undang, dan harus wajib selaras dengan butir-butir perjanjian Mou Helsinki, supaya cita-cita perdamaian bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat Aceh. jika adan pihak atau kelompok ingin mengacaukan atau mengahalang revisi UUPA, mereka merupakan penyakit bagi seluruh bangsa Aceh,” tegas Chalis.

Menurut Chalis langkah DPRA terkait mempertahankan bendera Bulan Bintang dalam draf UUPA itu sudah sangat tepat. Di sinilah bukti bahwa DPRA serius dalam menjalankan tugas dan fungsinya, walaupun dari tahun 2013  sudah di Qanunkan sampai hari ini masih berlarut tidak ada kepastian pemerintah Pusat.

“Tetapi, perlu kita garis bahwahi dari tahun 2013 kursi DPRA dari 69 kursi, 33 milik partai Aceh, kemudian pemilu 2014 partai Aceh hanya memproleh 29 kursi dari 81, kemudian pemilu 2019 kemaren partai Aceh hanya dapat 18,disinilah bukti bahwa hanya partai Aceh yang punya komitmen dalam meperjuangkan dan mengawal kekhususan Aceh. walaupun banyak pihak hari ini memojokan dan mendiskreditkan partai Aceh,” lugas Chalis.

Chalis juga menyebutkan jika ada oknum atau kelompok yang mengatas namakan masyarakat Aceh atau pemuda Aceh lalu menyatakan bahwa revisi UUPA itu berlebihan, maka meraka tidak paham isi perjanjian MoU Helsinki, karena jelas tertulis bahwa hanya ada 6 kewenangan pusat di Aceh.

“Perlu saya pertegas adalah Qanun Bendera dan Lambang Aceh sudah selesai dan sah secara hukum, karena Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dulu sudah mengatur ketika perda tidak dibatalkan oleh kepres maka tetap berlaku, namun dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, legislatif review yang diberikan oleh Undang-Undang a quo ke Kemendagri sudah dihapuskan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Artinya bendera Aceh tidak ada lagi hambatan apapun. Persoalan hanya kemauan political will Pemerintah Aceh dan DPRA. Bahkan Mahkamah Agung juga dalam Putusan JR yang dilakukan oleh sebuah yayasan di Banda Aceh, dalam pertimbangan sudah memberikan dan menyerahkan penyelesaian ke Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan DPRA.” Tandas Chalis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *