Palu Berbau Politik?

Foto : Ilustrasi.

Acehconnect.com | Banda Aceh. —- Akhir-akhir ini nama Presiden Jokowi sering dikaitkan dengan “Prank” dan “Controversi”, bagaimana tidak selevel Mahfud MD merasa pernah kena prank saat menerima pinangan PDIP jadi wakil Ganjar Pranowo dalam Pilpres 2024.

Saat itu Mahfud MD mengira Presiden Jokowi berada di barisan PDIP ketika dirinya memutuskan menerima pinangan Megawati menjadi cawapres.

Menurut Mahfud, saat itu dirinya sama sekali tidak tahu Jokowi akan mengajukan Gibran. Ia hanya tahu Prabowo akan maju sebagai capres.

Begitu muncul nama Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo, Mahfud MD mengaku konstelasi politik berubah. Karena sudah terlanjur menerima pinangan PDIP, Mahfud tetap harus jalan dengan keputusannya itu. Ungkap Mahfud MD, yang diunggah oleh Suara.com beberapa waktu lalu (26/4/2024).

Bukan hanya Mahfud, Butet Kartaredjasa dan lainnya pun pernah merasa kena prank. Bahkan BK, Putus Asa Amati Manuver Politik Jokowi. Inilah kelebihan Jokowi, tidak mudah menilai tindak tanduk politiknya.

Jokowi adalah kontroversi. Karena itu tak mudah dimengerti. Dan sering disalahmengerti. Bahkan ada yang membenci. Jokowi tampaknya konsisten sebagai orang yang kontroversial, dan suka membuat keputusan yang kontroversial.

Semua kebijakan menimbulkan perdebatan, namun Jokowi tetap tangguh pada pendiriannya. ABS (Asal Bapak Senang) di masa orba, seperti lenyap di masa reformasi. Namun muncul kembali di masa Jokowi, apakah itu disengaja atau mungkin pejabat sekarang sedang latah menyenangkan atasannya.

Tidak ada bukti otentik Jokowi memberi intervensi pada semua putusan, namun setiap keputusan selalu saja orang menganggap ada kepentingan politik dan penguasa. Seperti pada kasus putusan syarat calon kepala daerah, yang diputuskan MA dan diangkat oleh Gatra hari Kamis 30 Mei 2024.

Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon kepala daerah. Melalui putusan ini, kini seseorang dapat maju sebagai calon kepala daerah dengan syarat berusia 30 tahun saat pelantikan, bukan lagi saat pencalonannya.

Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas menyebut perubahan aturan main pencalonan kepala daerah ini sulit untuk tidak dikaitkan dengan unsur kepentingan rezim pengusa.

“Semakin tidak karuan lembaga yudikatif kita khususnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dalam menggunakan palunya atas gugatan yang berbau politik dan ditengarai terkait dengan kepentingan politik keluarga Presiden Joko Widodo,” ujarnya kepada Gatra.com, Kamis (30/5).

Santer dibicarakan, perubahan aturan ini dikaitkan dengan anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep yang juga Ketua Umum PSI untuk bisa melenggang ke Pilkada 2024.

Pasalnya, Kaesang yang lahir di Solo, 25 Desember 1994, saat ini masih berusia 29 tahun, belum memenuhi syarat untuk maju pencalonan kepala daerah jika merujuk aturan sebelumnya. Dan ia akan berusia 30 tahun pada Desember tahun ini, dimana diperkirakan pelantikan kepala daerah terpilih adalah bulan Januari 2025.

“Jangan-jangan memang benar ada pihak yang berkepentingan sedang memanfaatkan MA untuk kepentingan politiknya yang terganjal dengan PKPU tersebut.” kata Fernando.

“Apalagi Kaesang yang merupakan anak Presiden Joko Widodo sedang digadang-gadang sebagai calon gubernur DKI Jakarta sedangkan usianya masih kurang beberapa bulan agar memenuhi persyaratan sebagai calon gubernur sesuai dengan pasal 7 huruf e UU No.10 Tahun 2016.” tambahnya.

Fernando pun berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota.

“Sebaiknya KPU memintakan tentang tafsir pasal 7 bagian e UU No.10 tahun 2016 kepada Mahkamah Konstitusi sehingga tidak seenaknya Mahkamah Agung menafsirkannya.” imbuhnya.

“Jangan biarkan lembaga negara dan konstitusi Indonesia yang diduga diporak-porandakan oleh segelintir orang atau satu keluarga yang haus kekuasaan.” tambahnya.

Kendati demikian, Fernando mengaku pesimis KPU akan melakukan perlawanan atas putusan MA. “Sepertinya KPU juga sudah terkontaminasi dan mungkin sudah tersandera untuk menuruti keinginan segelintir pihak yang haus kekuasaan tersebut,” terang Fernando. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *