Pergantian Penjabat Gubernur Aceh dan Turunannya

Illustrasi Pj Bupati duduk bagai raja

Banda Aceh, Acehconnect.com. Pergantian Pj. Gubernur Aceh kepada yang baru (Bustami Hamzah, SE, MSi) ini wajar, meskipun sejak awal rakyat Aceh juga tidak menghendaki Ahmad Marzuki, namun demikian saat ini berganti dengan yang baru, ini bermakna Aceh gagal mempertahan “lex specialist”nya, yang semestinya Aceh tidak memerlukan Pj. Gubernur jika konsisten dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tulis DR. Taufiq A. Rahim 16 Maret 2024, memberi respon atas pertanyaan media ini berkaitan harapan yang mungkin tumbuh setelah Aceh punya Penjabat dari orang Aceh asli.

Secara eksplisit pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dilaksanakan pada tahun 2022 yang lalu, dan Aceh telah memiliki Gubernur definitif dipilih oleh rakyat.

Ini kecerobohan politik dan Aceh ternyata tidak dihargai secara nasional yang memiliki kekhususan “diobrak-abrik”, ternyata para elite politik di Aceh serta legislatif dibuat tidak bedaya serta pasrah (seperti macan ompong), meskipun pembatalan Pilkada hanya ditandatangani oleh seorang Irjen pada Kementrian Dalam Negeri (Kemdagri).

Kemudian Aceh hanya sebuah daerah “boneka jajahan” menjadi tidak berarti, meskipun memiliki sejarah panjang yang kelam dengan nyawa, darah dan air mata berkaitan dengan Pemerintah Pusat Jakarta (Republik Indonesia).

Karena itu, pergantian Pj. Gubernur baru tidak perlu terlalu berharap banyak, dan atau berharap semakin menjadi lebih baik, karena Bustami Hamzah adalah, juga aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi, sangat tunduk dan patuh kepada pemerintah pusat dalam segala tindakan, perilaku serta kebijakannnya.

Meskipun saat ini Bustami seolah-olah menjadi pahlawan terhadap anggaran belanja publik, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2024, dimana ini merupakan drama setiap tahunnya di Aceh, karena Bustami juga terlibat dalam “konspirasi jahat” keterlambatan dari APBA 2024 dengan cara berkoalisi dengan Dewan Perwakilan rakyat Aceh (DPRA), ini berhubungan dengan pemanfaatn yang dilakukan oleh Bustami terhadap lembaga legislatif tersebut dan atau saling memanfaatkan (mutualli symbiosis).

Diketahui juga bahwa, nafsunya sudah lama ingin menjadi Pj. Gubernur Aceh, termasuk berbagai trik politik dilakukan, sehingga Bustami (selaku Sekretaris Daerah/Sekda Aceh) juga tidak harmonis dengan Pj. Gubernur Aceh (Ahmad Marzuki), kemudian memanfaatkan lembaga legislatif yang juga tidak harmonis tersebut.

Meskipun APBA merupakan salah satu stimulus makroekonomi Aceh, namun secara realitas anggaran belanja publik tersebut dinikmati para elite Pemimpin Aceh, elite politik melalui dana pokok pikiran (pokir/aspirasi), dan hampir 70 persen peruntukannya habis untuk belanja pegawai, belanja taktis pimpinan dan lainnya.

Sehingga APBA-pun sebenarnya sangat sedikit manfaatnya untuk kehidupan ril rakyat Aceh. Demikian juga tahun 2024 akan berhadapan dengan ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) bersama dengan Sumatera Utara (Sumut), sementara Sumut segala fasiltas yang baru stadion, venue, asrama serta berbagai sarana olah raga yang dipertandingkan di Sumut telah selesai dan juga baru.

Dana dari belanja negara di Provinsi Aceh anggaran 2024 sebesar Rp 48,59 triliun, sebanyak Rp 17,04 triliun Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) untuk instansi Kementrian Lembaga dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 31,55 triliun.

Untuk pembangunan venue dari kementrian Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) sebesar Rp 1,07 triliun. Demikian juga berkaitan dengan berbagai belanja lainnya yang saat ini lebih cepat dimanfaatkan ke Sumut, baik prasarana olah raga dan anggaran belanja negara, sementara Aceh sibuk dengan rehab stadion dan beberapa venue, yang sama sekali tidak fenomenal dengan adanya PON di Aceh sebagai tuan rumah.

Maka tidak terlalu berharap dengan Pj. Gubernur Aceh baru, meskipun sebagai Pemimpin Aceh, putra asli Aceh tetapi tetap berwajah dan tunduk kepada kebijakan Jakarta (Pusat), demikian juga dengan para elite politik Aceh, birokrasi dan ASN Aceh. Ini mudah sekali dimainkan, ditundukkan dengan politik anggaran belanja publik, mereka sangat tergantung ke pusat, sangat tidak berdaya dengan “uang/dana”, jika tidak dikucurkan “merengek” serta “menyembah-nyembah” Pemerintah pusat melalui Kemndagri dan Kementrian Keuangan. Maka rakyat Aceh sudah biasa susah dan mencari rezeki sendiri (subsistences) juga sangat sadar dan tidak terlalu berharap meskipun Pj. Gubenur Aceh yang baru, beliau hanya penjabat publik secara politik dan kebijakan diangkat oleh Pemerintah Pusat, maka pengabdiannya juga ke pusat dan bukan untuk kepentingan ekonomi dan politik rakyat Aceh. Jawab DR Taufiq, melalui tulisannya.

Demikian juga, terhadap Pj. Bupati lainnya ini dapat saja diusulkan diganti oleh Pj. Gubernur baru jika kinerjanya tidak signifikan serta berusaha untuk menjadi pemimpin di daerah kabupaten/kota di Aceh, meskipun waktunya sampai dengan bulan Oktober 2024.

Terutama juga Bupati Gayo Luwes yang sangat “transaksional politik” banyak menimbulkan kekacauan di daerah, keresahan, bertingkah bak raja, menakut-nakuti rakyat, berlagak/bertingkah arogan, menperjual belikan nama Badan Intelijen Negara (BIN) meskipun rakyat tahu dia direkrut sebagai bahagian dari lembaga tersebut, dan banyak lagi catatan buruk lainnya.

Sebaiknya Pj. Gubernur Aceh menggantikannya lebih dahulu dengan tidak lagi rangkap dengan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh, kemudian tidak lagi memberikan kepercayaan atau mandat sebagai Pj. Bupati Gayo Luwes.

Dengan demikian, diganti maupun tidak diganti para pejabat publik di Aceh, baik Pj Gubernur dan turunannya, termasuk Bupati dan para Kepala Dinas masih dalam tahun politik yang tidak jelas ini bahkan menjelang Pilkada akan memainkan “politik gentong babi” dengan memanfaatkan para pejabat publik di Aceh, sesungguhnya secara realitas tidak memberikan manfaat untuk perbaikan kehidupan rakyat Aceh.

Karena Aceh tetap juara miskin se-Sumatera, nomor enam se-Indonesia, pengangguran terbuka tinggi, kesejahteraan tidak membanggakan meskipun penghasil bahan tambang dan mineral, bahan bakar minyak (BBM) antri panjang bahkan habis di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak (SPBU), bansos tidak jelas, ketidakadilan ekonomi antar sektor dan wilayah, bahkan banyak persoalan lainnya. Apakah mengharapkan perubahan signifikan serta realistis kepada Pj. Gubernur baru, meskipun ada sebahagian yang “euforia” seolah-olah energi baru dan akan melakukan perubahan untuk Aceh…”nonsence. Tutupnya. [Tr].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *