Peringatan Hari Perempuan Internasional, dan Kilas Balik Perjuangan Perempuan di Aceh
Banda Aceh, (AC) – Setiap tahunnya pada tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari Perempuan Internasional, yang berarti hari ini merupakan hari bagi seluruh perempuan memperingati bagaimana perjuangan yang telah perempuan lalui dalam mencapai keadilan serta mendapatkan hak-haknya.
Perjuangan tersebut belumlah berakhir, hingga saat ini perempuan terus berjuang atas hak-hak yang setara untuk mereka miliki serta mematahkan stigma soal perempuan dalam berbagi bidang. Contohnya seperti hak perempuan dalam pendidikan, hak dalam bekerja, serta berbagai hak-hak yang lain.
Berbicara tentang perjuangan, mungkin Aceh dapat dengan bangga menceritakan tentang bagaimana perjuangan perempuan Aceh di masa lampau. Ada banyak perempuan pejuang Aceh yang dikenal dengan keberanian dan kegigihannya dalam mencapai kemenangan. Contohnya Cut Nyak Dhien, yang namanya masuk dalam daftar pahlawan nasional Indonesia. Selain itu, Aceh juga memiliki beberapa Perempuan pejuang Aceh lain seperti Sulthanah Shafiatuddin, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, serta Pocut Mirah Gambang di Tiro.
Menjadi pemimpin dan berperang memimpin pasukan, tidak semua dilakukan oleh laki-laki. Perempuan di Aceh membuktikan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin dan berperang melawan penjajah Belanda. 7 perempuan pejuang Aceh ini bersinar di masa yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu kemenangan. Diawali oleh Laksamana Malahayati (1550), ia merupakan laksamana perempuan pertama di dunia. Laksamana Malahayati memimpin 2000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal dan banteng Belanda pada tahun 1599. Selanjutnya ialah Sulthanah Safiatuddin (1612) yang merupakan pemimpin perempuan pertama di Aceh. Ia berhasil membawa Kesultanan Aceh pada kejayaan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan. Sulthanah Safiatuddin pernah melakukan serangan militer ketika memerangi VOC di Perak dan Pantai Barat Sumatera. Lalu Pocut Meurah Intan (1833) yang gigih berperang melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee dan kerap menyerang kapal-kapal Belanda. Pocut Meurah Intan dikenal sebagai perempuan yang tangguh dan pernah sendirian melawan patroli Belanda. Pada tahun 1848, lahirnya Cut Nyak Dhien yang berhasil mengobarkan semangat rakyat, hingga menjadi sosok yang ditakuti oleh Belanda. Setelah Cut Nyak Dhien, lahirlah Cut Meutia (1870) yang dikenal sebagai perempuan ahli strategi perang. Kemudian pada tahun 1880, lahir Pocut Baren yang dikenal sebagai ulama perempuan dari Aceh yang gigih melawan Belanda Bersama Cut Nyak Dhien. Dan yang terakhir ialah Pocut Mirah Gambang di Tiro yang merupakan anak kandung Cut Nyak Dhien. Ia juga aktif berperang melawan Belanda.
Jika pada masa lalu para perempuan pejuang Aceh berperang untuk mempertahankan wilayahnya, maka sekarang perempuan Aceh harusnya berjuang dalam mendapatkan hak-haknya. Menurut Rahmil Izzati (Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Aceh)“Situasi perempuan dari dulu sampai sekarang terkait pengalamannya merupakan pembelajaran penting dan berharga, tidak hanya memberikan gambaran mengenai situasi perempuan ditengah politik partriarkhi, namun beragam perjuangan perempuan dalam melawan berbagai bentuk ketidakadilan yang dapat merampas hak-haknya”.
Momentum peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini harus menjadi suatu aksi nyata bagi para perempuan untuk memperjuangkan hak-hak yang setara untuk dimiliki. Adapun hak-hak tersebut ialah: a). Penghapusan segala bentuk ketidakadilan, penindasan, pemiskinan, dan kekerasan perempuan akibat sistem yang patriarkis. b). Mengakui, menghormati, melindungi dan memulihkan hak rakyat termasuk hak perempuan atas kerja layak dan perlindungan sosial. c). Menjadikan kepentingan perempuan sebagai agenda penting dalam merumuskan kebijakan, peraturan dan program pemerintah ke depan. d). Menghentikan kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM di seluruh pelosok negeri, e) menghentikan segala aktifitas pengrusakan sumber daya alam yang dapat menghilangkan sumber-sumber kehidupan perempuan, dan f). Mencabut kebijakan Qanun Jinayat di Aceh yang mendiskriminasi perempuan, serta berbagai kebijakan yang tidak berkeadilan gender.
Memperjuangkan hak-hak yang setara untuk dimiliki bukan hanya tentang sesuatu yang kita katakan atau yang kita tulis. Tetapi ini merupakan sesuatu yang kita perlu pikirkan, kita ketahui, kita hargai dan kita rangkul. Kesetaraan berarti menciptakan dunia yang inklusif, karena berbicara tentang peluang yang sama tidaklah cukup. Sehingga inklusi dan rasa memiliki yang sejati mebutuhkan tindakan yang adil. Kita dapat secara aktif mendukung dan merangkul kesetaraan dalam lingkup pengaruh kita sendiri, menentang stereotip gender, menyerukan diskriminasi, hingga mencari inklusi. Momentum peringatan Hari Perempuan Internasional sejatinya dirayakan untuk menghargai prestasi dan perjuangan para perempuan. Dan perjuangan untuk mendapatkan hak-hak yang setara bagi seluruh perempuan terus dilakukan, terus dikampanyekan, hingga perempuan menang dan merdeka seperti yang dirasakan oleh para Perempuan Pejuang Aceh pada masanya.(Red)
#perempuanberdaulat
#internationalwomensday
#IWD2023
#hariperempuaninternasional
#hariperempuansedunia