Banda Aceh, Acehconnect.com. Setelah PKM, kini penyakit sapi lato-lato yang paling ditakuti menyebar di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini hangat dibicarakan beberapa stasiun televisi nasional (23/6/23), menjelang hari raya qurban idul adha 10 Dzul hijjah 1444 H.
Masyarakat di luar sumatera dikejutkan, dengan munculnya penyakit ini dan diminta waspada untuk tidak mengkonsumsi hewan yang tertular penyakit ini.
Penyakit LSD (Lumpy Skin Dease) atau di kalangan peternak dikenal dengan penyakit lato-lato semakin menyebar luas. Di Gunungkidul tercatat hanya 1 kapanewon dari 18 kapanewon yang belum ditemukan kasus penyakit ini.
Tingginya tingkat penularan penyakit ini tentu mengkhawatirkan bagi banyak pihak. Apalagi perayaan Hari Raya Idul Adha tinggal menghitung hari.
Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D, Guru Besar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, menyatakan penyakit Lumpy Skin Desease (LSD) atau penyakit Lato-Lato adalah penyakit pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh infeksi virus LSD. Gejala yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat.
Menurutnya gejala umum diawali dengan demam dan kadang diikuti dengan keluarnya ingus maupun leleran dari konjungtiva mata. Sedangkan gejala yang menciri adalah dengan munculnya nodul-nodul pada kulit. Nodul atau bintil-bintil ini tampak menonjol dengan diameter 2-5 cm, berbatas jelas, tersebar di daerah leher, punggung, perineum, ekor, tungkai dan organ genital.
“Nodul tersebut kemudian akan nekrosis dan meninggalkan luka yang dalam. Selain gejala pada kulit, biasanya dapat juga diikuti gejala pneumonia dengan lesi di mulut dan saluran pernafasan,” ungkap Widya Asmara, di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, beberapa waktu lalu.
Tanda-tanda lain hewan yang terkena juga menunjukkan kepincangan, kekurusan dan untuk sapi perah akan terjadi penghentian produksi susu. Pada kasus-kasus yang parah maka akan dapat menimbulkan kematian.
Widya Asmara menuturkan penyebab penyakit ini adalah virus LSD. Virus yang termasuk dalam Famili Poxviridae yang dapat menular langsung melalui keropeng kulit, leleran dari hewan sakit. Sedangkan penularan tidak langsung dapat melalui peralatan yang tercemar virus, pakan dan minuman tercemar, ataupun melalui gigitan vektor (serangga penular).
Dia menambahkan untuk angka kematian sangat bervariasi. Semua sangat tergantung pada kondisi ternak dan ada/tidaknya serangga penular seperti nyamuk, kutu, dan caplak.
“Pada umumnya morbiditas atau angka kesakitan dapat mencapai 10 persen dan mortalitas atau angka kematian 1 – 3 persen,” ungkapnya.
Sayang untuk cara penyembuhan tidak ada obat khusus anti virus LSD ini. Beberapa cara yang bisa dilakukan, menurut Widya, sapi dapat diberi antibiotik untuk mengurangi infeksi sekender dan obat pengurang rasa sakit agar hewan tetap mau makan. Apabila hewan dalam kondisi baik dan tidak parah maka hewan dapat sembuh.
“Tersedia vaksin untuk mencegah, tapi ini untuk sapi yang tidak terinfeksi oleh virus Lumpy Skin Desease,” katanya.
Sebagai upaya antisipasi agar tidak semakin menyebar disarankan untuk hewan yang sehat dapat dilakukan vaksinasi. Dapat dilakukan pula upaya-upaya biosekuriti yang baik misalnya dengan meningkatkan kebersihan kandang, memberantas serangga penular seperti nyamuk, kutu, caplak.
Selain itu, dapat pula dilakukan pengawasan lalu-lintas ternak untuk mencegah masuknya hewan sakit. Virus pun dapat dibersihkan dengan beberapa larutan seperti ether (20 persen), kloroform, formalin (1 persen), fenol (2 persen selama 15 menit), natrium hipoklorit (2-3 persen), senyawa yodium (pengenceran 1:33) dan senyawa amonium kuaterner ( 0,5 persen).
Lantas pertanyaan dapatkah karkas dari hewan terserang LSD dapat untuk dikonsumsi? Mengacu panduan FAO, Widya menambahkan karkas dari hewan yang menunjukkan lesi kulit bersifat lokal-ringan dan tidak ada demam maka harus dibuang bagian yang terkena karena tidak layak untuk dikonsumsi dan harus dimusnahkan. Sedangkan bagian yang tidak ada lesi masih diperbolehkan untuk konsumsi setelah dimasak dengan pemanasan yang baik.
“Tentunya karkas yang berasal dari hewan dengan kasus akut atau parah dilarang untuk dikonsumsi,” imbuhnya, diangkat oleh Agung Nugroho (UGM) Yogyakarta.
Apa yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh, untuk menjaga agar penyakit ini tidak masuk ke Aceh.
Kepala Dinkeswannak Aceh Zalsufran yang dihubungi melalui WhatsApp (23/6/23 ) pukul 20.28, belum memberi jawaban hingga berita ini diturunkan pukul 22.45. Namun info terlihat Kadiskeswan telah menerima pesan ini dan telah membacanya.
Dari amatan media ini dan berdasarkan informasi dari para peternak di Aceh, belum ditemukan penyakit semacam ini di Aceh. Lebih-lebih hewan qurban di Aceh, cenderung dipilih yang terbaik dan sehat. Sehingga tidak ada kecemasan, seperti yang terjadi di daerah lain.
Sesaat setelah tayang berita ni Kadiskeswannak memberi jawaban pukul 22.56 bahwa, Disnak bekerjasama dengan stasiun karantina pertanian kelas 1 Aceh memperketat pengawasan lalu lintas ternak yg masuk maupun keluar dari provinsi Aceh, melakukan pengecekan dan pengawasan pd pasar2 hewan yg ada di setiap kab/kota yang dilakukan oleh petugas medis dan paramedis
Serta melakukan penyemprotan desinfektan di kandang peternak dan pengobatan secara berkala. Jelasnya. [R].