Akhir Pelarian Koruptor Masa Lalu dan Dampaknya Kini

Meski pernah berganti nama Thian Po Tjhin meniru rekannya yang ada di Indonesia, yang punya nama lahir beda dengan nama setelah besar. Namun apapun kelicikan dan tipuannya, akhirnya tertangkap juga.

Aceh Connect | Jakarta. — Nama lain dari Paulus Tannos adalah Thian Po Tjhin. Paulus Tannos adalah buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi proyek e-KTP.

Paulus Tannos lahir di Jakarta pada 8 Juli 1954. Ia merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra yang diduga terlibat korupsi dalam proyek e-KTP.

Paulus Tannos berhasil ditangkap di Singapura oleh lembaga anti korupsi Singapura. Penahanan sementara Paulus Tannos dilakukan di Penjara Changi, Singapura.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki rencana untuk menjerat Paulus Tannos menggunakan pasal perintangan penyidikan karena mengubah status kewarganegaraan.

Sebab, dijelaskan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, Paulus Tannos sudah berstatus sebagai tersangka dalam kasus korupsi megaproyek pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun.

“Tentu tidak (memakai pasal perintangan penyidikan) karena dia posisi tersangka dalam penyidikan tersebut,” kata Fitroh kepada Media, Rabu (29/1/2025).

Untuk diketahui, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos, merupakan buronan KPK di kasus korupsi megaproyek pengadaan e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.

Paulus Tannos ditetapkan sebagai tersangka sejak 2019 silam. Dia kemudian menjadi buronan KPK sejak 19 Oktober 2021.

Dalam pengejaran KPK, Paulus Tannos ternyata sempat berganti nama menjadi Thian Po Tjhin dan berganti kewarganegaraan untuk mengelabui penyidik. Bahkan ia memiliki paspor Guinea Bissau, sebuah negara di Afrika Barat.

Pelarian dari Paulus Tannos pun berakhir di awal tahun ini. Tannos ditangkap di Singapura oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) bersama otoritas keamanan Singapura pada 17 Januari 2025.

Dari amatan beberapa pengamat, Tertangkapnya Thian Po Tjhin (Paulus Tannos) membuat Daftar Pencarian Orang (DPO) kekuatan kekuasaan masa lalu semakin berkurang. Terlepas ada yang bantu para koruptor bisa lolos dari Indonesia, Indonesia tidak pernah mempersoalkannya.

Namun rakyat tentu merasakan, betapa bobroknya kekuasaan dimasa itu. Orang dipaksa dengan kerja-kerja 1000x, namun kurang pengawasan dan terkesan terjadinya pembiaran. Pemerintah yang sekarang mengakui keberlanjutan, maka harus ikut menanggung beban masa lalu.

Akibatnya, mencari berbagai solusi termasuk memotong anggaran daerah. Pemotongan anggaran daerah secara besar-besaran akan berdampak jalannya pemerintahan daerah kurang stabil. Munculnya ketimpangan dan rusaknya infrastruktur, jalan dan jembatan tidak terpelihara.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, yang dilansir Kompas.co (27/1) dan dikutip Aceh Connect (30/1). Menurut Armand, pemangkasan anggaran transfer ke daerah (TKD) tentu akan berdampak pada kondisi keberlanjutan fiskal di mayoritas daerah. Apalagi, mayoritas pemerintahan daerah di level kabupaten/kota belum memiliki kemandirian fiskal dan masih sangat bergantung dari transfer dana dari pusat.

Pemangkasan terbesar pada pos dana alokasi khusus (DAK) fisik (Rp 18,3 triliun) juga otomatis akan berdampak pada pembangunan di sejumlah daerah. Sebab, di beberapa daerah, transfer DAK fisik dipakai untuk belanja modal, seperti untuk pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas serta infrastruktur lainnya. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *