Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan, tahun 2003. Insert: Fiana Yuristi
Oleh : Fiana Yuristi *)
Tiba-tiba suasana pagi yang damai berubah mencekam di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan, karena terjadi sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan pada Sabtu 17 Mei 2003. Desa tersebut menjadi saksi bisu betapa menakutkannya suara tembakan dari keganasan tentara pada hari itu.
Pemaksaan terhadap warga Jambo Keupok yang dilakukan oleh puluhan tentara bersenjata lengkap, dengan menyeret seluruh warga keluar rumah. Kekerasan dan penyiksaan tersebut dilakukan bukan hanya kepada laki-laki maupun perempuan dewasa saja, tetapi juga dirasakan oleh anak-anak yang dikumpulkan di depan rumah warga.
Mereka diinterogasi sembari menerima perlakuan keji dari puluhan tentara itu. Mereka dipukul dan diminta paksa untuk mengakui bahwa dirinya itu merupakan anggota dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Awal mula kedatangan parjurit TNI dari Satuan Para Komando, Satuan Gabungan Intelejen, Yonif 320 Badak Putih Banten dan Yonif 511/Dibyatara Yodha, karena adanya laporan terkait dugaan aktivitas kelompok GAM di desa tersebut.
Pagi itu, di tengah interogasi berlanjut terdengar bunyi tembakan yang dilayangkan ke arah warga. Tumpahan darah membasahi tubuh, mewarnai tanah desa tersebut. Jeritan ketakutan yang juga dirasakan warga pagi itu, tidak menjadi pagar berhentinya suatu kejahatan.
Penduduk sipil yang menjadi korban penyiksaan akibat operasi yang dilakukan aparat negara itu tercatat lebih kurang 21 orang. 12 orang di antara penduduk sipil meninggal akibat disiksa, ditendang dan dipukul dengan popor senjata, dan akhirnya dibakar hidup-hidup. 4 orang lainnya mengalami hal yang sama dan berakhir meninggal ditembak, serta 5 orang lagi turut juga mengalami kekerasan oleh TNI.
Selain itu, 28 penduduk sipil juga menjadi korban penganiayaan. Dalam peristiwa itu prajurit TNI juga disebut melakukan kejahatan terhadap sejumlah perempuan dengan menghajar mereka. Bahkan seorang di antaranya dipukuli di bagian belakang kepala dengan popor senjata, sehingga ia tidak mampu menelan makanan selama lebih kurang tiga hari.
Setelah kejadian tersebut seluruh warga yang ada di Desa Jambo Keupok memilih mengungsi ke sebuah masjid untuk mendapatkan rasa aman dan ketenangan.
Pasca tragedi, di tengah malam tanggal 19 Mei 2003, dua hari setelah kejadian Jambo Keupok, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah Keppres diteken, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan secara resmi status Darurat Militer di Aceh. Tindakan yang dilakukan presiden saat itu merupakan bentuk perlindungan akan kejahatan yang terjadi pada dua hari sebelumnya, seakan-akan peristiwa tersebut tidak pernah terjadi dan tidak pernah terdengar di telinganya.
Rasa sakit yang dirasakan warga Jambo Keupok bukan hanya luka di kulit tetapi juga luka dihati. Pemerintah sengaja memberikan robekan luka yang lebar kepada korban dan keluarga, karena tidak mendapat keadilan dan tidak merasakan perlindungan. Alih-alih penghukuman kepada pelaku kejahatan, malah sebaliknya mereka mendapat zirah pelindung diri dan tembok pengaman yang tinggi dari sentuhan penghakiman.
Salah satu wujud pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Aceh yang sampai saat ini, 20 tahun lamanya, pemerintah masih gagal memberikan hukuman bagi pelaku dan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Jeritan mereka masih terdengar jelas hingga hari ini, tangis yang tak henti masih terus membasahi wajah serta baju mereka. Pemerintah yang dianggap sebagai “tali” penghubung yang bisa menarik mereka menuju sebuah ruang pengadilan ternyata malah menaruh ribuan tancapan besi panas yang tajam ke tubuh keluarga korban.
Sikap pemerintah yang menutup mata dan telinganya, membuat seluruh manusia yang mengetahui kejadian tersebut dihantui oleh hitamnya ingatan dan rasa sakit yang mendalam. Bak balutan darah yang kering dalam ingatan, tragedi Jambo Keupok ibarat balutan kejahatan yang dibungkus rapi oleh pemerintah saat itu, yang sangat tidak adil dan sangat tidak manusiawi, karena telah mengaburkan kejahatan dengan kejahatan.
(* Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Islam Ar-Raniry, Banda Aceh)