Agen perubahan atau yang lebih di kenal dengan agent of change tertanam dalam diri seorang mahasiswa. Yang sekarang duduk di kursi kekuasaan adalah mereka yang dulu teriak Ingan merdeka, namun faktanya Aceh hari ini sudah damai dan seakan yang duduk di kursi kekuasaan tersebut lupa apa yg pernah mereka lakukan dulu.
Mereka diharapkan duduk di kursi kekuasaan untuk membangun Aceh menjadi negeri yang lebih baik dan menjadi apa yang telah dicita-citakan, yaitu nanggroe yang adil dan makmur. Namun hal itu berbanding terbalik dengan fakta yang ada.
Faktanya, Aceh merupakan daerah dengan dana otsus terbanyak sejak tahun 2008 dana Otsus telah digelontorkan sebanyak Rp 95 triliun hingga tahun 2022. Hasilnya apa? Tidak ada, kemiskinan masih banyak, pendidikan yang belum merata, lebih-lebih lagi di daerah 3t. Uang banyak tapi tidak tahu ke mana. Bahkan Aceh dijuluki sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Periode pemerintahan berikutnya yaitu tahun 2024-2029 merupakan tantangan hebat bagi provinsi yang dijuluki sebagai Tanoh serambi Mekah ini. Yaitu tahun 2027 yang akan datang adalah tahun terakhir diberikannya danau khusus sesuai dengan kesepakatan bahwa dana tersebut diberikan selama 20 tahun.
Hal itu menjadi PR tersendiri bagi pemuda-pemudi Aceh hari ini yang mengaku sebagai mahasiswa yang artinya dia mengambil bagian dari perubahan itu sendiri. Seorang mahasiswa harus bisa menjadi contoh bagi masyarakat dan juga dapat dan mampu memberikan edukasi yang baik tentang politik bagi masyarakat.
Namun itu berbanding terbalik dengan pemuda Aceh hari ini yang di mana dia hanya menjadi kacung dari kekuasaan padahal diharapkan mahasiswa tersebut menjadi anti tesa daripada kekuasaan itu sendiri.