Opini  

Memadamkan Api Pembulian: Menghadapi Tindakan Membakar Sekolah oleh Siswa yang Tersudut

Ilustasi pembulian di sekolah (Grafis: TG). Insert: Muhammad Aditia Rizki (Foto: Ist.)

Oleh: Muhammad Aditia Rizki *)

Kasus-kasus siswa yang membakar sekolah sebagai akibat dari pembulian yang mereka alami menjadi isu yang sangat serius dalam dunia pendidikan. Fenomena itu tidak hanya mencerminkan ketidakmampuan kita dalam melindungi anak-anak kita dari pengalaman traumatis, tetapi juga mengungkapkan kebutuhan mendesak untuk melakukan tindakan yang tegas dan efektif terhadap pembulian di sekolah. Data dan regulasi yang relevan akan membantu memahami skala permasalahan tersebut dan merumuskan solusi yang sesuai.

Seorang remaja berusia 13 tahun, yang merupakan siswa kelas 7 di SMP Negeri 2 Pringsurat, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mengakui bahwa dia membakar gedung sekolah karena merasa dendam. Dia sering mengalami penghinaan dari teman-teman sekelas dan bahkan dari sejumlah guru. Remaja tersebut merasa sangat tersakiti dan merasa tidak dihargai, sehingga dia mengambil keputusan berani membakar sekolahnya.

Motivasi di balik tindakan itu adalah karena dia menjadi korban penghinaan dan bullying oleh teman-teman sekelasnya, bahkan beberapa guru. Dia juga diejek menggunakan nama orang tuanya, dan bahkan pernah menjadi korban pemukulan oleh sekelompok orang, termasuk teman sekelas dan kakak kelasnya. Semua pengalaman ini membuatnya sangat sakit hati. Selain itu, dia merasa hasil karyanya tidak dihargai oleh guru, dan pernah mengalami kejadian di mana tugasnya dirobek-robek di hadapannya tanpa alasan yang jelas, sementara guru tersebut tidak mengatakan apa-apa dan hanya merobeknya.

Dalam konteks hukum, tindakan bullying diatur dalam Pasal 80 ayat (1) Jo Pasal 76C UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara selama 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp.72.000.000,00. Selain itu, tindakan membakar gedung sekolah juga melanggar Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal tersebut diungkapkan oleh pihak berwenang saat memberikan sosialisasi kepada para siswa yang hadir di Mapolres Temanggung pada hari Rabu sore (28/6/2023).

Menghadapi lonjakan kasus siswa yang membakar sekolah sebagai dampak dari pembulian, tindakan segera harus diambil untuk memadamkan api pembulian. Tidak hanya cukup mengandalkan regulasi yang ada, tetapi juga harus memastikan implementasi yang efektif dan menyeluruh. Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi semua siswa, di mana pembulian tidak dibiarkan berlarut-larut.

Melalui pendekatan yang holistik, melibatkan pendidik, siswa, orang tua, dan komunitas, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung, empatik, dan adil. Program pelatihan yang komprehensif untuk guru dan staf sekolah harus menjadi prioritas untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pembulian dan memberikan strategi yang efektif dalam mencegah dan menangani kasus-kasus pembulian di sekolah.

Selain itu, perlu adanya upaya untuk menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan ramah bagi semua siswa. Itu dapat dilakukan melalui penguatan program pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai seperti empati, penghargaan terhadap perbedaan, dan penyelesaian konflik secara damai. Guru dan staf sekolah juga harus menjadi contoh yang baik dalam mengatasi konflik dan memperlakukan siswa dengan hormat.

Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan orang tua dalam upaya memerangi pembulian. Orang tua perlu dilibatkan secara aktif dalam mengawasi anak-anak mereka, mendukung mereka dalam menghadapi situasi sulit, dan bekerja sama dengan sekolah dalam menangani kasus pembulian. Kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat dapat menciptakan jaringan dukungan yang kuat untuk melindungi siswa dari pembulian dan mengatasi masalah tersebut dengan cara yang efektif.

Dalam rangka memadamkan api pembulian dan mencegah tindakan ekstrem seperti pembakaran sekolah, diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara luas. Kampanye publik yang meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif pembulian, serta sanksi yang tegas bagi pelaku pembulian, dapat menjadi langkah penting dalam mengubah sikap dan perilaku di lingkungan sekolah.

Adapun Kesimpulan Penulis bahwasanya, Pembakaran sekolah oleh siswa yang tertekan akibat pembulian adalah isu serius yang harus segera ditangani. Dengan memadukan data yang mendukung, regulasi yang relevan, dan upaya kolaboratif dari semua pihak terkait, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan bebas dari pembulian. Hanya dengan langkah-langkah yang komprehensif dan tindakan nyata, kita dapat memadamkan api pembulian dan memberikan perlindungan yang lebih baik kepada generasi muda kita.

(* Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fisip Uin Ar-raniry Banda Aceh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *